Kesetiaan Ibu Hana

Cerpen: Pujiah Lestari ___________________________________________________________________

Ketika kabar kematian itu datang dari pihak Polres Tangerang, Ibu Hana merasa syok berat. Tatapan matanya kosong, hampa, seakan ia tak mampu lagi berpikir. Siang itu, ia hanya duduk termenung menatap dinding. Setelah kesadarannya pulih, segera ia berkemas untuk menuju stasiun kereta Solo Balapan menuju Jakarta, untuk kemudian membeli tiket kembali setelah transit sejenak, menuju stasiun Tigaraksa, Tangerang. Pihak Polres Tangerang mendesaknya agar segera datang untuk mengidentifikasi korban, karena masih ada kemungkinan bahwa mayat yang terbujur di rumah sakit itu adalah bukan anaknya.

 

Dikarenakan saat itu masih dalam waktu libur sekolah, seluruh kursi di setiap gerbong kereta sudah dipesan untuk hari itu dan keesokan harinya. Tetapi, ketika ia menjelaskan duduk perkaranya, kepala KAI segera memutuskan, bahwa telah tersedia satu kursi di gerbong paling depan, khusus untuk Ibu Hana menuju stasiun Kota, yang langsung meneruskannya menuju stasiun Tigaraksa di kabupaten Tangerang.

Setelah sampai di tempat tujuan, dua orang polisi langsung menyambutnya, seraya membawanya ke rumah sakit tempat mayat itu dibaringkan di ruang pendingin. Sesampainya di rumah sakit, kedua polisi itu mengarahkannya ke kamar mayat, dan menunjukkan tubuh anaknya dengan beberapa luka di wajah, leher hingga sekujur tubuhnya. Mungkin saja itu luka cakaran dari ratusan monyet yang mengeroyoknya itu (pikir Ibu Hana). Tapi apa yang dia lakukan, sampai ratusan monyet di kebun Solear itu marah menyerbu, kemudian mencakar dan menggigitnya?

Kini, ia semakin yakin bahwa itu memang benar-benar puteranya. Wajahnya menunjukkan tanpa ekspresi seperti terlihat ketika ia sedang tertidur. Ia juga melihat tahi lalat kecil di bawah pelipis mata kirinya. Ibu Hana segera menandatangani dokumen berisikan pernyataan bahwa tubuh tersebut adalah anaknya. Seorang polisi menanyakan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

“Saya enggak tahu, Pak,” jawabnya menggeleng dengan tatapan kosong.

Seorang polisi muncul sambil memberikan barang-barang milik puteranya, di antaranya dompet, ponsel, kunci rumah kost, kacamata, dan alat cukur. Semua barang itu dimasukkan ke dalam koper kecil yang dibawa Ibu Hana, kemudian ia menandatangani dokumen penyerahan barang-barang itu.

Ibu Hana menghubungi sanak-saudaranya di Solo, bahwa mayat anaknya akan segera dibawa ke kampung melalui ambulans yang disediakan pihak rumah sakit. Ia pun ikut bersama mobil ambulans itu, meski di sepanjang perjalanan ia merasa tak habis pikir, bagaimana mungkin monyet-monyet itu sampai tega menyerbu dan mengeroyok anaknya, saat ia berkunjung ke kebun Solear bersama teman-teman kuliahnya?

***

Setelah tujuh hari kematian anaknya, Ibu Hana memesan tiket kembali menuju stasiun Jakarta, terus menyambung ke stasiun Tigaraksa. Turun dari kereta, ia sudah disambut Gojek yang dipesannya, dan hanya dalam tempo satu jam ia pun sampai di depan pintu gerbang penangkaran monyet bertuliskan “Keramat Solear”. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan rumah salah seorang juru kunci yang menyaksikan langsung kejadian anaknya diterkam para monyet beberapa waktu lalu.

“Nama Ibu?” tanya juru kunci, setelah ia mempersilakan Ibu Hana duduk di ruang tamu kediamannya.

“Hana Jamilah… panggil saja Hana.”

“Ibu Hana sendirian ke sini? Kenapa enggak sama suami?”

“Suami saya sudah meninggal lima tahun lalu.”

“Apakah Ibu punya anak lain selain yang meninggal di kebun ini?”

“Enggak ada,” katanya menggeleng, “dia anak saya satu-satunya.”

Mereka terdiam sejenak. Juru kunci itu menatap adanya kesenduan pada sorot mata tamunya.

“Jadi begini, Bu Hana, saya sendiri kurang tahu persis kejadian awalnya. Pada Minggu siang itu, memang ada serombongan mahasiswa Untirta Serang, datang mengunjungi tempat wisata ini. Tapi seperti biasa, kami sudah beri pengumuman melalui pengeras suara bahwa wisata Keramat Solear akan ditutup tepat jam lima sore.”

“Jadi, jam lima sore itu sudah tidak ada pengunjung lagi?”

“Kami pastikan sudah tidak ada. Memang, semua pengunjung sejak pagi, baik dari kalangan pelajar, keluarga maupun mahasiswa, sudah tidak kami lihat sejak jam lima sore itu. Tapi entah kenapa, menjelang magrib, sekitar jam enam tiba-tiba saya mendengar suara teriakan dari arah selatan hutan itu…”

“Jadi saat itu juga, Bapak menuju tempat datangnya suara?”

“Ya, saya segera berlari ke sana, dan saya kaget sekali ketika melihat ratusan monyet berlarian menuju pepohonan tinggi, sementara anak Ibu sudah terbujur di tanah dengan bersimbah darah.”

“Saat itu juga Bapak langsung menghubungi polisi?” tanya Ibu Hana dengan tatapan berkaca-kaca.

“Belum, saya ingin memastikan dulu kondisi anak Ibu, yang tadinya dalam posisi meringkuk, lalu saya rebahkan di tanah serta memeriksa denyut jantungnya. Tapi, saat itu juga saya langsung menyebut inna lillahi wa inna ilaihi rajiun… dia sudah tidak bernapas lagi, Bu…”

“Oke, tolong Bapak antar saya ke tempat di mana anak saya meninggal.”

“Kapan, Bu?”

“Sekarang juga, bisa?”

“Baik, Bu.”

Mereka pun beranjak dari tempat duduk. Juru kunci itu berperawakan kecil dan kurus. Usianya sekitar 70 tahun. Warna kulitnya agak gelap kecokelatan, rambutnya pendek dan kaku, matanya agak kecil dan sipit. Selain itu, sulit dijelaskan karena perawakan lelaki tua ini biasa-biasa saja, tak memiliki ciri-ciri khusus yang menonjol. Tapi pada dasarnya, dia cukup ramah. Jika ditanya, dia akan menjawab spontan dan apa adanya. Secara umum, dia terlihat agak cerdas meskipun berpenampilan kalem dan tenang.

Sambil melangkah pelan menuju selatan, juru kunci itu berkata, “Saya mohon Ibu bisa bersabar atas kematian anak Ibu. Yang namanya ajal, kapan saja bisa datang secara tiba-tiba. Meskipun saya kaget juga menyaksikan anak Ibu yang meninggal dalam kondisi seperti itu, karena sebelumnya hampir tak pernah ada kejadian serupa. Kalaupun ada yang terluka, karena dicakar atau digigit monyet, tapi nasibnya tidak sampai seperti ini. Ibu sendiri bisa lihat indahnya pemandangan di kebun yang berusia ratusan tahun ini, karena itu saya minta agar Ibu tidak membenci tempat ini. Mungkin saja ada beberapa monyet yang bertindak melampaui batas dari ribuan monyet yang ada di hutan ini. Tetapi, tentu saja kami sulit memilah-milah yang mana kelompok monyet yang tega mengeroyok anak Ibu sore itu.”

“Maksud Bapak, para monyet itu saling berkelompok, begitu?”

“Mungkin tak beda jauh dengan manusia. Kadang-kadang satu gerombolan monyet dalam jumlah puluhan berkumpul dalam satu pohon, sementara puluhan lainnya berkerumun dalam pohon yang lain…”

“Dan mereka saling tawuran?” tanyanya serius.

“Bukan, bukan… maksud saya, mereka seperti menganggap bahwa di Solear inilah habitat mereka, tempat tinggal atau kampung halaman mereka. Karena itu, mereka barangkali mengira sebagai ancaman jika ada makhluk lain yang menurut mereka…, Ibu ngerti kan maksud saya?”

Ibu Hana menganggukkan kepalanya, “Boleh Bapak jelaskan mengenai pengunjung lain yang pernah digigit monyet di sekitar sini… maksud saya, apakah ada di antara monyet itu yang pemakan daging?”

“Ooh enggak, Bu, sama sekali enggak ada… pada umumnya mereka itu pemakan buah-buahan seperti biasa. Kalaupun ada yang doyan daging, tapi itu seumumnya daging-daging matang yang biasa kita makan juga.”

Mereka saling diam, dengan tatapan tajam, Ibu Hana berkata tegas, “Kalau Bapak mau tahu, kakek saya dulunya anggota KNIL yang direkrut dan dimanfaatkan Belanda untuk memerangi pejuang-pejuang Indonesia. Waktu remaja dia tidak paham KNIL itu apa, bahkan sewaktu diperalat oleh pihak Belanda pun, dia masih juga belum ngerti apa itu KNIL. Tapi, sewaktu usianya sekitar 30 tahun, dan dia sadar bahwa posisinya berada di pihak yang salah, tiba-tiba dia diserbu oleh pejuang-pejuang muda Indonesia, dan dituduh sebagai pembohong dan pengkhianat. Dia sudah menyadari dirinya berada di pihak yang salah dan dia sudah keluar dari keanggotaan KNIL, tetapi orang-orang tetap tak percaya…”

Dengan suara agak gemetar, juru kunci itu segera menimpali, “Kalau dulu tentu situasinya dalam keadaan perang melawan Belanda, jadi ada pihak musuh yang dibenci dan dilawan. Ada masalah pribumi dan pendatang asing. Tetapi, nasib anak Ibu ini boleh dikatakan faktor alam dan lingkungan. Kita sulit untuk mencari pihak mana yang harus dipersalahkan. Hal ini tentu menyakitkan bagi Ibu sendiri, tapi tolong Ibu berusaha bersikap sabar, dan menganggap peristiwa ini karena faktor hukum alam biasa….”

Sesampainya di tempat tujuan, masih ada police line berwarna kuning yang melintang dari satu pohon ke pohon lainnya. Di samping tanahnya becek dan berlumpur, ada jalanan konblok di sekitar rerimbunan pohon dan ilalang. Ibu Hana segera menunduk ketika melihat bercak darah mengering yang sudah ditaburi pasir. Ia merasa yakin bahwa itu adalah darah anak kandungnya sendiri. Ia menghela napas dalam-dalam, tatapannya nanar dan waspada. Ia mengamati puluhan monyet di atas dahan pohon-pohon besar. Tubuhnya merinding ketika ia merasakan sesuatu seakan ada yang mengawasi dari kejauhan. Tetapi, ia merasa tenang ketika melihat juru kunci tersenyum dan mengatakan tidak usah takut.

***

Sengaja Ibu Hana belum pulang ke kota Solo. Ia merencanakan menginap di rumah kost mendiang anaknya, yang letaknya tak jauh dari kampus Untirta, kota Serang. Ia sudah memesan Gojek agar mengantarkannya menuju tempat itu. Keesokannya ia menuju kampus tempat anaknya kuliah pada fakultas sosial-politik. Ia menjanjikan berjumpa dengan mantan pacarnya, serta mentraktirnya makan di warung baso yang terletak di samping kampus. Pacarnya itu banyak bercerita mengenai hubungannya selama dua tahun, sering berkunjung ke perpustakaan daerah, lembaga kebudayaan Rumah Dunia, bioskop 21, toko buku dan lain-lain. Meskipun selama setahun terakhir tak berpacaran lagi dengan anaknya, gadis itu merasa terpukul mendengar kabar kematiannya di kebun Solear itu.

Mantan pacarnya itu menjelaskan, setelah mereka berpisah, konon anaknya itu bergabung dengan Kelompok Pecinta Alam (KPA), suatu organisasi yang masih berada di bawah naungan kampus. Setahu dia, pacarnya itu tak menjalin hubungan khusus dengan perempuan lain setelah berpisah dengan dirinya.

Siang itu, Ibu Hana menjumpai beberapa sahabat anaknya di kantor KPA, seraya berbincang-bincang mengenai kabar kematian anaknya. Seorang mahasiswa berambut gondrong menyatakan bahwa anaknya itu menolak diajaknya pulang sekitar jam 16.30 sore, menjelang kebun Solear itu tutup. Ia menyatakan mau pulang malam melalui pintu belakang kebun, yang biasanya baru dikunci gembok oleh juru kunci menjelang tengah malam. Ia ingin mengambil gambar beberapa monyet yang tampangnya unik dan langka melalui ponsel yang baterainya telah diisi penuh menjelang keberangkatan. Teman-teman KPA sendiri baru mendengar kabar kematiannya menjelang tengah malam, sekitar Pk. 23.30.

Ibu Hana mengajak dua orang temannya di KPA, agar mau mengantarkannya menuju lokasi kejadian. Di antara belasan pengurus KPA, Ibu Hana memilih dua orang pengurus agar mendampingi dirinya, di antaranya ketua dan bendahara. Mereka berangkat dengan mobil rental yang dipesan Ibu Hana, dan sampai di tempat tujuan sekitar jam lima sore. Ia mengajak juru kunci yang kemarin, untuk turut serta ke lokasi kejadian, persis menjelang waktu maghrib tiba, sekitar jam enam sore.

Matahari mulai terbenam di ufuk barat, dan tanda-tanda gelap malam mulai tiba. Ibu Hana melihat ekspresi kedua mahasiswa itu yang merasa waspada dan selalu menatap ke atas pepohonan. Mereka terlihat gusar karena rasa takut, tetapi Ibu Hana menatap ke wajah juru kunci seraya memberi isyarat agar menenangkan kedua mahasiswa itu. “Enggak apa-apa, Dik, monyet-monyet di atas pohon itu tidak akan macam-macam kalau ada saya. Sudah puluhan tahun saya akrab dengan mereka semua,” ujar juru kunci.

“Sekitar jam segini, dan barangkali pada menit-menit ini monyet-monyet itu mengeroyok anak saya di titik ini,” Ibu Hana menunjuk ke tanah, yang masih ada bercak-bercak darah yang sudah mengering. Beberapa gundukan pasir sudah ditaburkan di sekelilingnya, dan kedua mahasiswa itu menatap ke tumpukan pasir dengan tatapan terkesima bercampur rasa takut. “Di antara kalian ada yang punya pendapat, kenapa monyet-monyet itu sampai tega menyerbu anak saya. Apa kesalahan anak saya selama ini?”

Keduanya menggeleng, salah satunya kemudian angkat bicara, “Saya sendiri enggak ngerti, Bu, setahu saya anak Ibu baik-baik saja di kampus, juga di perkumpulan organisasi, dia tak pernah berbuat macam-macam…”

“Apakah dia punya masalah dalam soal keuangan, misalnya?” ia menoleh kepada bendahara.

Si bendahara juga menggeleng, “Sama sekali tidak. Beberapa mahasiswa memang punya utang di organisasi kami, tetapi anak Ibu tak punya tunggakan sama sekali.”

“Kasihan sekali dia.”

“Memang ada beberapa jenis monyet di Solear ini,” ujar ketua KPA, “mereka biasanya lebih akrab dengan tamu yang membawa ransel. Mereka mendekati tamu itu sambil berharap mengeluarkan isi ranselnya, kalau-kalau si tamu membawa pisang atau kacang di dalamnya. Mereka seumumnya akrab dengan manusia, tapi entah kenapa, apakah ada jenis monyet baru yang ganas di sekitar ini, Pak?” ia menoleh ke juru kunci.

“Sudah puluhan tahun saya bertugas di sini, dan saya tak pernah menemukan jenis ganas yang Adik maksudkan itu.”

“Yang dia maksudkan, apakah ada jenis monyet atau kera baru yang dimasukkan ke kebun ini, misalnya dari kebun binatang lain?” jelas Ibu Hana.

“Saya kira tidak ada,” kata juru kunci menggeleng, “kalaupun ada generasi baru, itu adalah monyet anak-anak atau remaja yang ibunya mengandung dan melahirkan di kebun ini, dan masih dari jenis yang sama.”

***

Seperti rencana semula, Ibu Hana akhirnya menginap selama seminggu di rumah kost mendiang anaknya di kota Serang, Banten. Di musim hujan itu, ia duduk-duduk sendirian tengah malam, di kursi tempat anaknya belajar. Ia menyalakan layar komputer milik anaknya, dan melihat beberapa fail tentang mata kuliah di fakultas sosial-politik. Ia baru menyadari bahwa anaknya sudah menjalani kuliah pada semester kesembilan, yang berarti semester akhir menjelang kuliah praktikum dan pembuatan skripsi. Ia membaca beberapa artikel yang akan menjadi rujukan anaknya untuk pembuatan bahan skripsi. Kemudian, ia melangkah ke beranda kost, duduk-duduk di sana sambil memandangi rintik-rintik hujan.

Selama seminggu itu, Ibu Hana mencoba melakoni aktivitas yang dikerjakan anaknya sebagai mahasiswa di kampus Untirta. Ia masuk perpustakaan kampus tempat anaknya membaca buku. Ia makan di kantin dengan menu yang sama dipesan oleh anaknya. Ini menunjukkan seolah ada pola dari perjalanannya yang telah direncanakan. Ia juga mencari orang-orang yang bisa diajak bicara mengenai masalah yang dihadapinya. Sehingga, banyak dosen, mahasiswa dan kalangan akademisi yang mengenal dia sebagai “orang Solo” yang puteranya meninggal karena dikeroyok oleh segerombolan monyet di daerah Banten.

Sehari menjelang kepulangannya ke kota Solo, ia minta izin pada seorang dosen di kelas anaknya untuk mengikuti perkuliahan pada hari itu, khususnya pada materi “Karakteristik Politisi”. Ia dipersilakan duduk di bangku kelas yang biasa diduduki oleh anaknya, mengikuti perkuliahan, mendengar uraian dosen perihal perpolitikan Banten dan Indonesia akhir-akhir ini.

Uraian dosen tentang dunia politik itu, mengingatkan Ibu Hana pada gerombolan-gerombolan monyet yang telah memperlakukan anaknya secara tidak manusiawi di sore itu, ketika matahari mulai terbenam. (*)

 

Pujiah Lestari, cerpennya tersiar di media nusantara baik cetak atau daring.

                   :

Related posts

Leave a Comment

nineteen − 14 =